10 Alasan Mengapa Orang atau Badan Hukum seperti Yayasan BSMI Tidak Berhak Memakai Nama dan Lambang Bulan Sabit Merah
Pemerintah Republik Indonesia dengan resmi membentuk Palang
Merah Indonesia (PMI) pada 17 September 1945 dan mengesahkannya melalui
Keputusan Presiden RIS Nomor 25 Tahun 1950 sebagai lembaga pendukung pemerintah
(Auxiliary to the Government) untuk menyediakan berbagai pelayanan kemanusiaan
seperti bantuan korban bencana, pelayanan sosial dan kesehatan masyarakat,
pengelolaan darah, pembinaan generasi muda dan diseminasi Hukum Perikemanusiaan
Internasional sesuai ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949. Pun pada situasi
konflik bersenjata, jika diperlukan, PMI dapat mendukung pelayanan kesehatan
(Dinas Kesehatan) TNI dengan tunduk pada ketentuan hukum militer. Karena itu,
lambang pelindung yang dipakai oleh PMI harus sama dengan lambang yang
digunakan oleh Dinas Kesehatan TNI.
Dengan mengakui keberadaan PMI dan diperkuat legalitasnya
melalui Keputusan Presiden RI Nomor 246 Tahun 1963, maka secara tegas
pemerintah hanya mengesahkan menurut hukum nasional satu-satunya Perhimpunan
Nasional dengan mengunakan satu lambang yang sama digunakan oleh Dinas
Kesehatan TNI. Artinya, saat Dinas Kesehatan TNI akan mengganti lambang
mengunakan lambang Bulan Sabit Merah, maka PMI tentu saja langsung mengganti
nama dan lambang menjadi Bulan Sabit Merah Indonesia.
Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 tentang
Perlindungan Korban Perang (International Conventions for the Protection of
Victims of War) menjadi Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 (UU No 59 Tahun
1958), dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Penguasa Perang Perang Tertinggi
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Pemakaian/Penggunaan Tanda-tanda dan Kata-kata
Palang Merah, serta Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/02/M/II/2002
tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Azasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Namun selama kurun waktu pendirian PMI
hingga tahun 2016 ini, berlakunya UU No 59 Tahun 1958 dan beberapa (termasuk
dua) aturan pelengkap diatas, baik pemerintah maupun masyarakatnya telah gagal
melindungi dan menghormati lambang-lambang kemanusiaan Gerakan Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah Internasional (wrongful act), karena tidak diikuti dengan
penguatan pencegahan penyalahgunaan lambang-lambang kemanusiaan Gerakan melalui
peraturan hukum yang kuat, tegas, mengikat, keras dengan sanksi pidananya.
Kini 70 tahun sejak PMI dibentuk dan didirikan serta terus
berkiprah dalam pelayanan bantuan kemanusiaan di tanah air, tapi penyalahgunaan
lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah masih terus terjadi di negeri ini,
tanpa sedikit pun tindakan untuk menertibkannya bahkan meniadakan. Kian hari,
frekuensi tindakan penyalahgunaan kedua lambang itu semakin tinggi, karena
itulah kebutuhan hukum (solusi yuridis) sangat penting dan mendesak diadakan.
Misalnya, pada 7 Mei 2002 berdiri sebuah Yayasan yang kemudian
diberi nama Yayasan Bulan Sabit Merah Indonesia (Yayasan BSMI). Tokoh-tokoh
pendirinya termasuk “orang-orang penting” di republik ini seperti paramedis,
dokter, aktivis, akademisi, politisi (negarawan). Namun, kehadiran Yayasan BSMI
tentu bisa dibilang tidak lazim di negara hukum ini, karena selain tidak
mematuhi UU No 59 Tahun 1958, Keppres RIS No 25 Tahun 1950, Keppres RI No 246
Tahun 1963, Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No 1 Tahun 1962, Keputusan Menteri
Pertahanan Nomor Kep/02/M/II/2002, Yayasan BSMI juga keliru mengklaim Bulan
Sabit Merah dengan konotasi dan identitas agama, dan salah menafsir jika hanya
mau bekerjasama dengan “Gerakan Bulan Sabit Merah Internasional” karena
Komponen Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional hanya ada 3
(tiga) yaitu: 1. Komite Internasional Palang Merah atau disingkat ICRC, 2.
Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau disingkat IFRC,
dan 3. Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, disingkat
Perhimpunan Nasional (PN). Jelas sampai kapan pun Yayasan BSMI terus
bersikukuh, klaim tersebut tak akan pernah bisa diakui dan diterima oleh semua
Komponen Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
Pada 16 Februari 2016 lalu, sebuah petisi online muncul di situs
web “www.change.org”, ia dibuat untuk meminta dukungan tanda tangan
netters dengan judul: “Dukung Bulan Sabit Merah Indonesia sejajar dengan
PMI”. Tentu agar tak ada lagi kekeliruan berpikir seperti sang pembuat petisi
online ini, dan atau kesalahan menggunakan nama dan lambang Bulan Sabit Merah
oleh Yayasan BSMI dapat segera dikoreksi atau dibenahi, dan agar Yayasan BSMI
memiliki pemahaman yang semakin baik dengan segera mengganti nama dan tidak
lagi mengunakan lambang Bulan Sabit Merah yang telah terlanjur dipakainya, dan
untuk dikemudian hari tindakan-tindakan penyalahgunaan lambang Bulan Sabit
Merah dapat di redusir bahkan ditiadakan dari orang atau badan hukum lain yang
tidak berhak atau tidak berkepentingan, maka berikut ini kami kemukakan “Sepuluh
Alasan Mengapa Orang atau Badan Hukum Seperti Yayasan BSMI Tidak Berhak Menggunakan
Nama dan Lambang Bulan Sabit Merah”, sebagai berikut:
PERTAMA, Indonesia Sudah Lama Memberlakukan UU No 59 Tahun 1958 Tentang Ikut Sertanya Negara Republik Indonesia Dalam Ke-empat Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. UU No 59 Tahun 1958 Mengatur Mengenai Penggunaan Lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah. Wajib Menjadi Ketaatan Hukum, Moral Dan Politik Bagi Semua Komponen Masyarakat Indonesia Untuk Menghormati UU No 59 Tahun 1958 Itu Tanpa Kecuali.
- Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, of August 12, 1949).
- Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949).
- Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949).
- Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, of August 12, 1949).
Nah, masyarakat Indonesia sebagai bagian dari komunitas
masyarakat internasional, perlu mengetahui bahwa Konvensi Jenewa Tahun 1949
yang kemudian menjadi UU No 59 Tahun 1958 diatas juga merupakan salah satu “Law
Makin Treaties” atau perjanjian yang membentuk hukum dengan meletakan
ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat Internasional
secara keseluruhan. Karena itu, ketidaktaatan terhadap UU No 59 Tahun 1958
sebagai Law Making Treaties ini bisa disebut sebagai suatu perbuatan
atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional.
Meskipun Indonesia bukan sebagai pihak penandatangan yang
pertama pada saat pembuat kesepakatan itu dilakukan, maka sebagaimana Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS = United Nations Convention on the Law of the
Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut menjadi UU No
17 Tahun 1985), Konvensi Jenewa Tahun 1949 pun adalah Law Making Treaties
untuk sebuah perjanjian multilateral yang mengikat banyak subyek hukum
internasional dan melahirkan tanggungjawab negara pesertanya untuk wajib
melindungi dan menghormatinya. Dengan demikian, Konvensi Jenewa Tahun 1949 ini
menurut sifatnya sangat penting artinya bagi Indonesia.
Dewasa ini, seperti halnya perjanjian-perjanjian multilateral
lainya yang menjadi Law Making Treaties karena ditandatangani dan
disegel dengan cara yang sama oleh wakil-wakil pemerintah berkuasa penuh, maka
Konvensi Jenewa Tahun Tahun 1949 dan ketiga Protokol-Protokol Tambahannya yang
belum sempat diratifikasi, masih menjadi kebutuhan hukum paling penting karena
perannya untuk melindungi para korban konflik bersenjata yang bisa saja terjadi
di Indonesia di hari-hari kedepan. Untuk itu menjadi kewajiban bagi setiap
rejim Pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengimplementasikannya
dalam suatu peraturan perundang-undangan nasional, agar terjadi ketaatan dan
kepatuhan aturan hukum didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan agar
setiap komponen bangsa dan negara, termasuk Yayasan BSMI wajib menghormati,
menaati, dan patuh kepada peraturan perundang-undangan tersebut.
Sebagaimana untuk diketahui, persetujuan untuk terikat pada
Perjanjian Internasional (Consent to be Bound by a Treaty) sebagai tahap akhir
pembentukan Perjanjian Internasional diatur dalam Pasal 11 Konvensi Wina Tahun
1986 Tentang Hukum Perjanjian Internasional Antara Negara Dengan Organisasi
Internasional Atau Organisasi Internasional Satu Sama Lain, dimana dinyatakan
bahwa suatu Negara atau Organisasi Internasional dapat mengikatkan diri dengan
Negara dan/atau Organisasi Internasional lain dalam perjanjian internasional
melalui beberapa cara, diantaranya:
- Penandatanganan (Signatur), diatur dalam pasal 12 Konvensi Wina 1969,
- Penukaran instrumen-instrumen pembentuk perjanjian (Exchange of Instrumens Constituting a Treaty), diatur dalam pasal 13 dan pasal 16 huruf (a) Konvensi Wina 1969,
- Peratifikasian (Ratification), diatur dalam pasal 14 ayat 1 dan pasal 16 Konvensi Wina 1969,
- Penerimaan (Acceptance), diatur dalam pasal 14 ayat 2 dan pasal 16 Konvensi Wina 1969,
- Pemufakatan (Approval), diatur dalam pasal 14 ayat 2 Konvensi Wina 1969,
- Pengikutsertaan (Accession), diatur dalam pasal 15 dan pasal 16 Konvensi Wina 1969, dan
- Khusus untuk organisasi internasional, melalui pembuatan komfirmasi formal (Act of Formal Confirmation).
KEDUA, Pemakaian Lambang Palang Merah dan/atau Bulan Sabit Merah Wajib Terkait dengan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
153 tahun yang lalu, Jean Henry Dunant (1828-1910) warga negara
Swiss dan bapak pendiri Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional (melalui bukunya yang terkenal: “Un Sovenir De Solferino” atau
“a Memory of Solferino” atau “Kenangan dari Solferino”, terbit Oktober 1862
yang mengambarkan kengerian perang di Solferino, Italia, tanggal 24 Juni 1859)
telah menanamkan visi agung tentang kekuatan kerelawan yang terus hidup dan
semakin kuat di dunia. Henry Dunant adalah peletak dasar-dasar organisasi
kesukarelawanan modern untuk tujuan kemanusiaan, dan sebagai orang pertama yang
mendapatkan anugerah medali (penghargaan Nobel) perdamaian.
Kegigihan Henry Dunant menyemai “Jiwa, Semangat, dan
Nilai-nilai” Kesukarelawanan untuk tujuan Kemanusiaan berbuah manis. Saat ini
pertumbuhan gerakan kerelawanan baik yang dilakukan oleh individu dan
organisasi di masyarakat semakin meningkat seiring peningkatan kejadian
bencana, musibah, kegagalan teknologi, wabah penyakit dan konflik bersenjata,
apalagi masyarakat internasional dan Pemerintah Republik Indonesia telah
menetapkan setiap tanggal 5 Desember sebagai hari Relawan Internasional dan
setiap tanggal 26 Desember sebagai hari Relawan PMI.
Karena eskalasi kejadian Bencana Alam, Musibah, Kegagalan
Teknologi, Wabah Penyakit dan Konflik Bersenjata semakin meningkat dan meluas,
ini menimbulkan animo perseorangan dan kelompok masyarakat untuk membentuk,
mendirikan, menjalankan organisasi kemanusiaan. Tak terkecuali kehadiran
Yayasan BSMI, yang kepadanya tentu saja kita semua sepatutnya mengapresiasi
pendirian, visi dan misi Yayasan BSMI ini, yang tentu saja menandakan aksi
positifnya untuk bergabung dalam garda depan pelayanan kemanusiaan di Indonesia
bahkan internasional.
Sayang sekali, niat baik pembentukan Yayasan BSMI sepertinya
sangat berbeda dengan penerapan 7 (tujuh) Prinsip Dasar dari Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Misalnya pada prinsip KESATUAN,
sudah sangat jelas disebutkan (termasuk dalam Statuta, dan Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional) bahwa di setiap negara hanya boleh ada (didirikan) 1 (satu)
saja Perhimpunan Nasional, dan Perhimpunan Nasional tersebut hanya boleh
memilih mengunakan 1 (satu) lambang, mengikuti lambang yang digunakan oleh
Dinas Kesehatan Militernya. Maka klaim pemakaian nama dan lambang Bulan Sabit
Merah oleh Yayasan BSMI harus dinyatakan dilarang, apapun maksud dari
pemakaiannya, karena hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan
penyalahgunaan lambang, sebagai kekeliruan dan harus segera dikoreksi untuk dan
tentu demi kebaikan Yayasan BSMI kedepannya.
Bahwa karena Yayasan BSMI bukan bagian atau anggota dan atau
komponen dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, maka
menurut ketentuan UU No 59 Tahun 1958, Yayasan BSMI tentu tidak berhak dan
tidak berkepentingan menggunakan nama dan lambang Bulan Sabit Merah, dan jika
karena telah terlanjur adanya surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan
oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka sebagai jawaban untuk
koreksinya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bapak Yasonna Hamonangan
Laoly, harus segera mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Surat Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal
Administrasi Hukum Umum Nomor C-2241.HT.01.02.TH 2007 tanggal 18 Juli 2007.
Surat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum itu sangat bertentangan dengan
ketentuan UU No 59 Tahun 1958 dan beberapa peraturan pelengkapnya.
Selain itu, dari sisi kebaikan bersama, kita semua berharap agar
Yayasan BSMI pun segera menghormati keseluruhan isi UU No 59 Tahun 1958 dengan
tidak lagi mengunakan nama dan lambang Bulan Sabit Merah, jiwa besar sebagai
kemauan politik, kewajiban hukum dan kepentingan moral para pendiri dan
pengurus Yayasan BSMI sangat di tunggu. Kepada para Pendiri dan Pengurus
Yayasan BSMI yang menjadi teladan penegakan hukum sekiranya dapat segera
mengoreksi kesalahan dan membenahi kekeliruannya selama ini, dan sekaligus
menyurati Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencabut, membatalkan surat
keputusan yang tersebut diatas yang telah terlanjur didaftarkan oleh Yayasan
BSMI.
Bahwa untuk dan atas penggantian nama dan lambang oleh Yayasan
BSMI menjadi nama dan lambang yang berbeda dengan nama dan lambang-lambang
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional menurut Konvensi
Jenewa Tahun 1949 tentu saja tidak akan merubah visi dan misi kemanusiaan yang
menjadi dasar pendirian Yayasan BSMI. Kita (masyarakat Indonesia) selalu
menunggu jiwa negarawan dari para pendiri dan pengurus Yayasan BSMI mewujudkan
visi dan misinya tanpa pun memakai nama dan lambang Bulan Sabit Merah, karena
peran serta Yayasan BSMI selama ini sudah sangat baik, bahkan terlampau baik,
hanya satu saja kekurangannya, dan ia hanya berupa kurangnya pengertian bahwa
Yayasan BSMI bukanlah pihak yang terkait dengan Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional dan tentu saja tidak berhak memakai nama atau
kata-kata dan lambang Bulan Sabit Merah.
KETIGA, Bukan Lambang yang Bisa Dipakai Sembarangan, Lambang Bulan Sabit Merah untuk Lambang Kemanusiaan dengan Sifat Netral dan Wajib Dihormati Oleh Semua Pihak, dan Perdebatan Tentangnya Telah Tuntas Dibahas Pada Tahun 1929.
Harus disadari oleh seluruh masyarakat Indonesia bahwa sejarah
panjang perdebatan masyarakat internasional untuk menggunakan Lambang Palang
Merah atau Bulan Sabit Merah, telah dibahas tuntas pada tahun 1929 dalam sebuah
Konferensi Internasional Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional yang dilaksanakan untuk itu. Itupun kemudian diperkuat pada
Konferensi Internasional tahun 2005 dengan pengadopsian satu lagi lambang
pembeda yaitu Kristal Merah (Red Crystal).
Tahun 1864 saat diadakan Konferensi Diplomatik, perdebatan
mengunakan lambang Palang Merah diatas dasar putih telah dibahas tuntas di
Jenewa, Swiss. Ia digunakan karena menawarkan keuntungan teknis. Ia memberikan
pesan khusus, mudah diingat, mudah dikenali dari jarak jauh, memiliki desain
yang sederhana dan sangat mudah dibuat. Tahun 1876, Kesultanan Ottoman (kini
Republik Turki) mengajukan lambang Bulan Sabit Merah untuk Dinas Kesehatan
Tentaranya, kebalikan dari bendera negaranya (Bulan Sabit Putih diatas dasar
merah) yang kemudian disepakati dalam Konferensi Internasional Gerakan tahun
1929.
Pada saat itu, selain Kesultanan Ottoman mengusulkan Bulan Sabit
Merah, negara-negara seperti Afganistan, Cyprus, India, Jepang, Thailand
(Siam), Siria, Sudan, Srilanka, mengusulkan lambang-lambang berbeda untuk Dinas
Kesehatan Tentaranya. Lambang Singa dan Matahari Merah misalnya, ia diajukan
oleh Kekaisaran Persia. Meski disetujui oleh Konferensi Internasional Gerakan,
kini lambang Singa dan Matahari Merah tidak lagi digunakan sejak 1980 seiring
berubahnya Kekaisaran Persia menjadi Republik Iran. Lambang yang lain seperti:
Nyala Api Merah (Red Flame), Bintang David Merah (Red Shield of David), Red
Arrchway (Mehrab-e-Ahmar), Strip Merah di bawah Matahari Merah di atas Dasar
Putih (Red Strip Beneath a Red Sun on a White Ground), Swastika, Palem Merah
(Red Palm), dan lambang-lambang yang lain, menjadi usulan yang mengemuka kala
itu.
Misalnya jika semua lambang yang diusulkan negara-negara diatas
disepakati dalam Konferensi Internasional Gerakan tahun 1929, maka sejarah
carut marut penggunaan lambang pembeda pada saat perang akan kembali mundur
sebelum tahun 1864 (konferensi internasional pertama yang menghasilkan
Konvensi tentang Komite Internasional Palang Merah atau ICRC dan Lambang Palang
Merah)---bahkan mundur ke era-era seperti perang di Solferino 1859, sebelum
Henry Dunant menulis buku: “Kenangan dari Solferino” yang tanpa aturan
kemanusiaan modern dan menewaskan dan mencederai sekitar 40 ribu tentara,
dimana personil Dinas/Unit Kesehatan dan Kerohanian Tentara hanya ditandai
seadanya dengan mengunakan ban lengan beraneka warna-motif-corak, penggunaan
yang mana tanpa disepakati, dihormati, dan ditaati secara internasional dan
menimbulkan penafsiran berbeda adalah sangat berbahaya bagi keselamatan
personil medis dan rohaniawan yang seharusnya dijamin netral, dilindungi ketika
bekerja menolong semua korban perang tanpa terkecuali.
Karena itu, jasa baik dari kesimpulan para peserta konferensi
internasional tahun 1929 jangan lagi dikesampingkan oleh orang dan badan hukum
seperti Yayasan BSMI di Indonesia. Bahwa lambang Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah kini menjadi milik dunia, ia bukan lagi milik ‘agama’ (jika sekiranya
dipersepsikan demikian). Keduanya kini mewakili pesan, gagasan, ide-ide
kemanusiaan universal dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional tanpa bertendesi lagi pada konotatif agama. Karena sekali lagi,
pada tahun 1929 para peserta Konferensi Internasional yang saat itu gagap
teknologi komunikasi justru telah membahasnya tuntas.
Karena itu, jangan lagi membalikan sejarah ke era-era kemunduran, ke jaman tanpa aturan, tanpa budaya hukum. Dan, karena masyarakat Indonesia makin dikenal sebagai masyarakat yang taat hukum, maka karena itulah lambang-lambang kemanusiaan universal dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional ini jangan lagi dikonotasikan dengan atau sebagai klaim milik agama, kepercayaan, ideologi, atau pandangan politik tertentu.
Sekali lagi, fakta perdebatan lambang pelindung dan pengenal
yang telah tuntas di tahun 1929 itu seyogyanya tidak lagi diungkit kembali,
karena hanya membuang energi kemanusiaan yang percuma. Dunia kemanusiaan
bergerak maju dengan sistem yang semakin solid, terarah, terorganisir. Dan, di
Indonesia pun, peran kemanusiaan PMI semakin “Profesional, Tanggap,
Terkoordinir, dan Dicintai oleh Masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar